HARNAS.CO.ID – Penyidik Pidsus Kejaksaan Agung (Kejagung) memeriksa pejabat PT Waskita Beton Prescast.
Pemeriksaan terkait pengusutan kasus dugaan korupsi pembangunan Jalan Tol MBZ atau Jalan Tol Jakarta-Cikampek II Elevated Ruas Cikunir-Karawang Barat periode 2016-2017.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar mengatakan yang bersangkutan diperiksa dalam kapasitasnya sebagai saksi pada Senin 23 September 2024.
“Saksi yang diperiksa berinisial FXPR selaku Direktur Utama PT Waskita Beton Precast periode 2021 sampai saat ini,” kata Harli dalam keterangan resmi, dikutip Selasa, (24/9/2024).
Inisial FXPR dimaksud adalah FX Poerbayu Ratsunu. Ia menjadi saksi untuk tersangka Dono Parwoto alias DP, Kuasa Kerja Sama Operasi (KSO) Waskita-Acset.
“Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara dimaksud,” tutur Harli.
Diketahui, Kejaksaan Agung telah menetapkan Dono Parwoto sebagai tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi Jalan Tol MBZ.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung saat itu, Kuntadi, mengatakan posisi kasus DP bermula dari kerja sama PT JJC dengan PT BPJT untuk pengusahaan jalan tol BPJT senilai Rp 16.233.409.000.000 atau Rp 16,2 triliun.
Dalam pelaksanaan perjanjian tersenut, Dono bekerja sama dengan Tony Budianto Sihite alias TBS (terpidana kasus korupsi Jalan Tol MBZ) selaku perwakilan PT Bukaka.
Keduanya bersekongkol mengurangi volume pada basic design tanpa dilakukan kajian teknis terlebih dahulu.
“Selain itu, yang bersangkutan juga mengkondisikan agar PT JJC ditetapkan sebagai pemenang dengan bekerja sama dengan saudara DD (terpidana Djoko Dwijono) dan saudara YM (terpidana Yudhi Mahyudin),” ujar Kuntadi di Kompleks Kejagung, Jakarta Selatan, 6 Agustus 2024.
Setelah ditetapkan sebagai pemenang, DP kembali melakukan pengurangan volume tanpa didukung dengan kajian terlebih dahulu. “Sehingga akibat perbuatan yangbersangkutan telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 510.085.261.485,41 (Rp 510 miliar),” ucap Kuntadi.
Atas perbuatannya, Dono Parwoto disangka melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.