HARNAS.CO.ID – Mantan Kepala Dinas Kebudayaan (Kadisbud) DKI Jakarta periode 2020–2024, Iwan Henry Wardhana, dituntut 12 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Bersama Iwan, JPU juga menuntut mantan Kepala Bidang Pemanfaatan Dinas Kebudayaan DKI Jakarta tahun 2024, Mohamad Fairza Maulana, dan pemilik Event Organizer (EO) Gerai Production (GR PRO), Gatot Arif Rahmadi.
Jaksa meyakini Iwan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama terkait pembuatan surat pertanggungjawaban (SPJ) fiktif senilai Rp36,3 miliar.
“Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 12 tahun dikurangi sepenuhnya dengan lamanya terdakwa ditahan dengan perintah agar terdakwa tetap dilakukan penahanan di rutan,” kata jaksa saat membacakan surat tuntutan di ruang sidang Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (9/10/2025).
Selain itu, Iwan juga dituntut membayar denda sebesar Rp500 juta subsider enam bulan kurungan, serta uang pengganti Rp20,5 miliar yang dinikmatinya dari hasil korupsi, subsider enam tahun penjara.
Jaksa turut memperhitungkan aset milik terdakwa yang telah disita dalam proses penyidikan sebagai pembayaran uang pengganti berupa bangunan dan tanah.
Jaksa juga membacakan tuntutan terhadap dua terdakwa lainnya, yakni mantan Kepala Bidang Pemanfaatan Dinas Kebudayaan DKI Jakarta tahun 2024, Mohamad Fairza Maulana, dan pemilik Event Organizer (EO) Gerai Production (GR PRO), Gatot Arif Rahmadi.
Mohamad Fairza Maulana dituntut tujuh tahun penjara, denda Rp500 juta subsider enam bulan, serta uang pengganti Rp1,44 miliar dengan memperhitungkan penyitaan uang senilai Rp1,01 miliar dalam penyidikan dan Rp50 juta subsider tiga tahun enam bulan.
Sementara Gatot Arif Rahmadi dituntut sembilan tahun penjara, denda Rp500 juta subsider enam bulan, serta uang pengganti Rp13,26 miliar dengan memperhitungkan aset yang telah disita berupa uang Rp7 juta, satu unit mobil Suzuki, dan satu unit mobil Nissan Evalia, subsider empat tahun enam bulan.
“Menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama,” kata jaksa.
Dalam surat dakwaan, Iwan Henry Wardhana didakwa telah merugikan keuangan negara sebesar Rp36.319.045.056,69 (Rp36,3 miliar) melalui pembuatan SPJ fiktif.
Iwan didakwa melakukan perbuatan tersebut bersama-sama dengan Mohamad Fairza Maulana dan Gatot Arif Rahmadi.
“Perbuatan terdakwa Iwan Henry Wardhana bersama-sama dengan saksi Mohamad Fairza Maulana dan saksi Gatot Arif Rahmadi mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp36.319.045.056,69,” kata Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Arif Darmawan, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (17/6/2025).
Jaksa menjelaskan, Dinas Kebudayaan DKI Jakarta pada tahun anggaran 2022–2024 mengelola dana untuk kegiatan Pergelaran Kesenian Terpilih (PKT), Pergelaran Seni Budaya Berbasis (PSBB) Komunitas, dan keikutsertaan mobil hias dalam acara Jakarnaval.
Terdakwa Iwan disebut mengarahkan agar seluruh kegiatan PSBB Komunitas diserahkan kepada Gatot. Berdasarkan kesepakatan keduanya, Gatot akan memberikan kontribusi berupa uang kepada Iwan.
Selain kegiatan PSBB Komunitas, Iwan juga menyerahkan pelaksanaan kegiatan PKT dan Jakarnaval tahun 2023 kepada Gatot dengan pola kesepakatan serupa. Ia kemudian mengarahkan agar kegiatan PKT dan PSBB Komunitas tahun anggaran 2024 tetap dilaksanakan oleh Gatot.
Menindaklanjuti arahan tersebut, Fairza menyampaikan rencana anggaran biaya (RAB) yang berisi informasi pagu masing-masing komponen kepada Gatot.
Namun, dalam pelaksanaan PSBB Komunitas tahun anggaran 2022–2024, Gatot dan Fairza bekerja sama merekayasa bukti pertanggungjawaban pengelolaan anggaran yang melebihi pengeluaran sebenarnya. Kelebihan pembayaran itu digunakan untuk memenuhi kesepakatan pemberian uang kepada Iwan Henry Wardhana.
Adapun modus operandi yang dilakukan para terdakwa, yakni Gatot selaku pemilik EO GR PRO terlebih dahulu menentukan data sanggar yang akan digunakan dan dimintakan persetujuan kepada Fairza.
Selanjutnya, dibuat proposal seolah-olah berasal dari pelaku seni atau sanggar, disertai disposisi dan nota dinas dari Dinas Kebudayaan, serta dokumen lainnya seperti daftar hadir, daftar honorarium, dan bukti dokumentasi kegiatan.
Jaksa menyebut para terdakwa menyusun bukti pembayaran kepada pelaku seni atau sanggar yang dipinjam identitasnya alias fiktif, serta membuat bukti pembayaran honorarium yang melebihi nilai sebenarnya (markup). Mereka juga membuat dokumentasi kegiatan yang tidak sesuai dengan kenyataan melalui proses penyuntingan foto, serta bukti pembayaran sewa alat kesenian ondel-ondel yang tidak sesuai fakta.
Berdasarkan bukti pertanggungjawaban tersebut, Dinas Kebudayaan DKI Jakarta mencairkan anggaran kepada penerima yang tercantum, yaitu Gatot dan pihak-pihak lain yang identitasnya diduga direkayasa.
Selama periode 2022–2024, Gatot atas penunjukan Iwan dan arahan Fairza telah mengelola sekitar 101 acara PSBB Komunitas, 746 PKT, dan tiga Jakarnaval dengan total realisasi pembayaran setelah dipotong pajak sebesar Rp38.658.762.470,69.
Namun, jumlah pengeluaran sebenarnya hanya sebesar Rp8.196.917.258,00. Dengan demikian, sisa lebih pembayaran yang disalahgunakan mencapai Rp30.461.845.212,69.
Selain itu, dalam periode tahun anggaran yang sama, Dinas Kebudayaan DKI juga melaksanakan kegiatan PKT secara swakelola.
Pelaksanaan kegiatan PKT swakelola dimulai dari permohonan dukungan acara kepada Kadisbud DKI agar pemerintah provinsi dapat memfasilitasi kegiatan seni tari atau musik tradisional.
Iwan kemudian menindaklanjuti permohonan tersebut dengan meneruskan disposisi secara berjenjang hingga berakhir di Fairza, yang memutuskan Dinas Kebudayaan akan memfasilitasi acara PKT tersebut.
Sebelum acara dilaksanakan, Fairza menentukan sanggar, pelaku seni, dan vendor peralatan acara. Ia kemudian merekayasa bukti pengelolaan anggaran kegiatan PKT swakelola tahun 2022–2024.
Rekayasa tersebut mencakup penambahan komponen acara fiktif, kenaikan pembayaran honor pelaku seni (markup), rekayasa daftar hadir, biodata, dokumentasi kegiatan, serta penggunaan stempel palsu.
Bukti pertanggungjawaban fiktif itu digunakan untuk mencairkan anggaran kegiatan PKT swakelola dengan nilai pencairan setelah pajak sebesar Rp5.133.611.650,00. Dari jumlah tersebut, terdapat selisih Rp4.955.682.344,00 yang kemudian dikembalikan oleh pelaku seni fiktif melalui transfer kepada staf Dinas Kebudayaan.
Menurut jaksa, pada tahun 2022–2024 Dinas Kebudayaan DKI mempertanggungjawabkan sekitar 104 bukti pembayaran honorarium yang telah di-markup kepada 57 pelaku seni dengan nilai pencairan setelah pajak sebesar Rp1.637.062.550,00. Nilai pembayaran sebenarnya hanya Rp735.545.050,00, sehingga terdapat selisih Rp901.517.500,00.
Selisih pembayaran tidak sah tersebut digunakan untuk memberikan kontribusi uang kepada Iwan, Fairza, Gatot, serta pihak-pihak lain. Iwan disebut menikmati uang hasil korupsi sebesar Rp16,2 miliar, Fairza Rp1,44 miliar, dan Gatot Rp13,52 miliar.
Atas perbuatannya, Iwan, Fairza, dan Gatot didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.