HARNAS.CO.ID – Forum Advokat Peduli Hukum dan Keadilan meminta Presiden RI dan DPR RI menunda pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) 2025. Mereka menilai rancangan aturan tersebut justru mengancam hak asasi, melemahkan peran advokat, dan membuka ruang penyalahgunaan kewenangan oleh aparat.
Dalam surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden, Ketua DPR, Menteri Hukum dan HAM, serta sejumlah pejabat negara lainnya, mereka meminta pembahasan RKUHAP dilakukan secara transparan dan partisipatif. Mereka pun menolak aspirasi yang mendukung segera mengesahkan RKUHAP di tengah proses pembahasan.
“Kami menilai RKUHAP 2025 justru gagal menangkap semangat reformasi KUHP Nasional 2023,” tulis mereka, dikutip Selasa (22/7/2025).
Menurut mereka, KUHP baru mengedepankan prinsip penghormatan martabat manusia, keadilan substantif, dan pidana sebagai upaya terakhir. Namun RKUHAP dinilai masih mengusung pendekatan lama yang represif dan minim kontrol yudisial. Salah satu isu krusial yang disorot adalah mekanisme pengakuan bersalah terdakwa.
“Forum menilai prosesnya tidak melibatkan korban, tidak mengatur tuduhan berlapis secara jelas, dan tidak memiliki ukuran pasti untuk pemberian keringanan hukuman.”
Forum juga mengutip sikap para dosen hukum pidana yang mengkritik banyaknya ruang penyalahgunaan wewenang oleh penyidik dan penyelidik dalam RKUHAP. Di antaranya penggunaan metode undercover buy dan controlled delivery tanpa prosedur yang jelas, penahanan tanpa kontrol pengadilan, serta ketiadaan sanksi terhadap penyiksaan.
Penggeledahan, pemblokiran data, dan penetapan tersangka juga dinilai bisa dilakukan tanpa izin pengadilan, cukup dengan klaim “keadaan mendesak” dari penyidik. Forum menyayangkan sejumlah ketentuan yang dianggap melemahkan hak tersangka dan advokat.
Hak atas bantuan hukum, menurut forum advokat itu tidak dijamin eksplisit, dan penolakan pendampingan tidak memerlukan kontrol hakim. Selain itu, akses advokat terhadap bukti tidak diatur, bertentangan dengan prinsip equal of arms. RKUHAP juga dinilai mengaburkan konsep restorative justice karena dilakukan sejak penyelidikan tanpa jaminan bagi korban.
Syarat pencabutan laporan disebut membatasi keadilan substantif. Di sisi lain, mekanisme praperadilan untuk menguji legalitas upaya paksa dinilai semakin dibatasi. Selain itu upaya paksa yang sudah mendapat izin tidak dapat diuji melalui praperadilan.
“Ketentuan ini menghapus mekanisme penting untuk mencegah kesewenang-wenangan aparat,” tulis mereka.
Forum juga mengkritik absennya pengaturan terkait hukum acara terhadap korporasi, tindak pidana adat, perlindungan lingkungan, hingga pemanfaatan teknologi informasi dalam proses hukum. Ketentuan yang mewajibkan penyidik di sektor strategis tunduk pada persetujuan POLRI juga dinilai melemahkan efektivitas penyidikan berbasis keahlian.
Forum Advokat Peduli Hukum dan Keadilan sedikitnya mengajukan tiga tuntutan. Pertama, menunda pengesahan RKUHAP 2025 dan membuka ruang pembahasan yang transparan dan inklusif.
Kedua, menyusun RKUHAP dengan prinsip perlindungan hak asasi, bukan memperluas kewenangan polisi dan jaksa. Ketiga, mengadopsi mekanisme hakim pemeriksa pendahuluan seperti yang diatur dalam RKUHAP 2012.
Penandatangan surat ini antara lain AH Wakil Kamal, SH., MH; Hedi Hudaya, SH., MH; Guntoro, SH., MH; Gugun Kurniawan, SH; Iqbal Tawakkal Pasaribu, SH., MH dan Muhammad Sahid, SH, serta 25 advokat lainnya dari berbagai wilayah.