HARNAS.CO.ID – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora terkait ambang batas pencalonan kepala daerah.
Gugatan terkait Pasal 40 Undang-Undang Pilkada yang menetapkan syarat pencalonan kepala daerah harus didukung oleh 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah pada pemilu legislatif sebelumnya.
Khusus untuk DKI Jakarta, ambang batas pencalonan gubernur minimal 7,5 % dari semula 20%.
Dalam putusannya, MK menyatakan ketentuan tersebut tidak lagi relevan dan perlu dinyatakan inkonstitusional.
Menurut Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, keberlangsungan norma dalam Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 ini bisa membahayakan proses demokrasi yang sehat.
“Jika norma ini dibiarkan terus berlaku, bisa mengancam demokrasi yang sehat,” ujar Enny Nurbaningsih saat membacakan putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024, Selasa (20/8/2024).
Sementara itu, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic punya pendapat berbeda dalam bentuk concurring opinion. Sedangkan Guntur Hamzah menyatakan pendapat berbeda dalam dissenting opinion.
MK juga sependapat dengan Partai Buruh dan Gelora bahwa pembentuk undang-undang abai terhadap Putusan MK terdahulu, yakni Putusan Nomor 005/PUU-III/2005, yang menegaskan bahwa partai politik di luar DPRD masih bisa mengusung calon kepala daerah asalkan memenuhi akumulasi suara sah pada pemilu legislatif sebelumnya.
Intinya substansi dari putusan ini diabaikan saat revisi UU Pilkada yang dilakukan pada 2016. Saat itu, Indonesia tengah mencoba skema peralihan menuju pilkada serentak, namun Putusan MK ini tidak menjadi perhatian utama.
Dalam keputusan terbaru ini, MK menyatakan bahwa ambang batas pencalonan kepala daerah yang diusung oleh partai politik disamakan dengan ambang batas untuk calon independen.










