HARNAS.CO.ID – Jagat demokrasi Indonesia dikejutkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah. Berdasarkan putusan tersebut, pemilu nasional akan terdiri dari pemilihan presiden dan wakil presiden, serta pemilihan anggota DPR RI dan DPD RI. Sementara, pemilu daerah mencakup pemilihan gubernur, bupati/wali kota, serta anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Merespons hal itu, pengamat politik yang juga Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jeirry Sumampow menilai, MK ingin membuka jalan baru agar proses pemilu berjalan lebih tertata dan berkualitas.
“Pemilih diberi ruang untuk fokus pada isu nasional saat memilih presiden, DPR RI dan DPD RI, lalu bisa benar-benar memperhatikan persoalan lokal saat memilih kepala daerah dan anggota DPRD. Hal ini tentu bisa mendorong rasionalitas pemilih dan memperkuat kualitas demokrasi,” kata Jeirry dikutip Jumat (27/6/2025).
Jeirry menjelaskan, selama ini, sistem pemilu serentak membuat semua proses pemilihan digelar di hari yang sama, dengan lima surat suara dan lima kotak suara untuk dipilih sekaligus. Tujuan awalnya, kata dia melanjutkan, demi menyederhanakan pemilu, menghemat waktu, menghemat anggaran, dan memperkuat sistem presidensial.
“Namun dalam praktiknya, sistem ini justru menimbulkan beban luar biasa bagi penyelenggara, membingungkan pemilih, dan bahkan menyebabkan kelelahan massal yang menelan korban jiwa,” kata Jeirry.
Kembali ke soal putusan MK, Jeirry menjelaskan, pemisahan tersebut juga memberi peluang lebih besar bagi tokoh-tokoh lokal yang punya kapasitas dan rekam jejak baik. Sebab, tokoh-tokoh lokal itu dinilai akan bisa bersaing secara lebih mandiri tanpa bergantung pada popularitas calon presiden (capres) atau partai besar di tingkat nasional.
“Efek “ekor jas” — di mana suara untuk caleg atau calon kepala daerah ikut terdongkrak oleh kandidat presiden — bisa diminimalisasi,” katanya.
Kemudian, dari sisi teknis penyelenggaraan, pemisahan ini juga memberi harapan. Artinya, ujar Jeirry, beban kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan petugas di lapangan bisa terbagi. Tidak lagi harus menangani lima surat suara dan lima kotak suara dalam satu waktu, yang selama ini memicu kekacauan logistik dan kelelahan luar biasa.
“Dalam jangka panjang, ini bisa menyelamatkan kualitas pelaksanaan pemilu dan bahkan keselamatan petugas,” ucap Jeirry.
Mulai Tahun 2029
Diketahui, MK memutuskan mulai 2029, keserentakan penyelenggaraan pemilu yang konstitusional melalui pemisahan penyelenggaraan pemilihan anggota DPR, anggota DPD, dan presiden/wakil presiden (pemilu nasional) dengan penyelenggaraan pemilihan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota (pemilu daerah atau lokal).
Dengan demikian, pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu 5 (lima) kotak” tidak lagi berlaku.
Hal itu tertuang dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) terkait uji materi Pasal 1 ayat (1), Pasal 167 ayat (3), Pasal 347 ayat (1) Undang – Undang (UU) Pemilu, dan Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2015 (UU Pilkada).
Putusan ini diucapkan dalam sidang pengucapan putusan di ruang Sidang Pleno MK pada Kamis (26/6/2025).
Tujuannya untuk mewujudkan pemilu yang berkualitas serta memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat.
Selain itu, MK juga mempertimbangkan hingga saat ini pembentuk undang-undang belum melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sejak putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diucapkan tanggal 26 Februari 2020. Kemudian, secara faktual pula, pembentuk undang-undang sedang mempersiapkan upaya untuk melakukan reformasi terhadap semua undang-undang yang terkait dengan pemilu.
“Dengan pendirian tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa semua model penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota yang telah dilaksanakan selama ini tetap konstitusional,” kata Wakil Ketua MK Saldi Isra seperti dikutip laman resmi MK.