HARNAS.CO.ID – Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ketentuan presidential threshold atau ambang batas minimal persentase pengusulan pencalonan presiden dan wakil presiden (wapres). Hal ini mengemuka setelah MK dalam persidangan Kamis (2/1/2025) mengabulkan judicial review atau uji materi terhadap Pasal 222 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Putusan tersebut disambut positif oleh berbagai pihak. Salah satunya mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie yang menyatakan, putusan MK merupakan kado tahun baru 2025 yang mencerahkan terkait kualitas atau mutu demokrasi di Indonesia
“Alhamdulillah, akhirnya MK mengabulkan PUU (Pengujian Uji Undang-Undang) menghapus ketentuan mengenai capres 20 persen untuk Pemilu 2029,” kata Jimly melalui cuitan di akun X @JimlyAs dikutip Jumat (3/1/2025).
Cuitan Jimly yang juga dikenal sebagai pakar hukum tata negara itu pun menuai respons beragam dari warganet. Ada sependapat dengan Jimly, tetapi terdapat pula warganet yang di antaranya menghadirkan cuitan bernuansa menganalisa dampak dari putusan MK itu.
Diketahui, MK memutuskan menghapus presidential threshold atau ambang batas minimal persentase pencalonan presiden dan wapres lantaran ketentuan yang tercantum dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu itu dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
“Tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Mengabulkan permohonan para pemohon seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Kamis kemarin.
Uji materi terhadap Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu diajukan empat mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Keempat mahasiswa ini adalah Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna.
Lebih lanjut, MK juga mengemukakan dasar putusan kali ini yang mengabulkan uji materi terkait ketentuan presidential threshold. Sebab, MK sebelumnya susah sering menyidangkan uji materi terhadap pasal yang mengatur presidential threshold, namun tidak mengabulkannya.
“Pergeseran pendirian tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wapres (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” kata Wakil Ketua MK Saldi Isra dikutip laman resmi MK saat membacakan pertimbangan hukum Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 tersebut. (dha)







