HARNAS.CO.ID – Kasus intimidasi yang dialami masyarakat pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024, disebut tidak sebanyak yang terjadi pada pesta demokrasi sebelumnya. Menurut Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Ajid Fuad Muzaki, Pilkada 2010 dan 2017, tekanan terhadap pemilih masih cenderung tinggi.
“Pilkada 2024 ini intimidasinya tidak sebanyak sebelumnya,” katanya di Jakarta, Jumat (6/12/2024).
Dalam acara bertajuk “Penyampaian Hasil Pemantauan Masa Kampanye, Hari Tenang dan Pemungut serta Penghitungan Suara” di Jakarta, Ajid mengungkapkan peristiwa yang terjadi pada Pilkada 2017, khususnya di Jakarta. Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, ujar dia, diwarnai dengan kontroversi berupa isu SARA dan politik identitas.
Bahkan, terdapat larangan untuk memilih calon yang berasal dari latar belakang tertentu. Sifatnya, kata Ajid, terstruktur dan cenderung banyak kasus, sebelum 2024. “Pada Pilkada 2024 ini, tidak ada pola (intimidasi) yang tersistematis,” tuturnya.
Intimidasi terhadap pemilih yang terjadi pada Pilkada 2024 bersifat sporadis dan terjadi pada komunitas-komunitas kecil. Misalkan, kasus intimidasi yang terjadi di Kota Pematangsiantar, Sumatera Utara, menjelang hari pemungutan suara.
Ajid merujuk pada penyerangan yang dilakukan sekelompok pemuda di Rumah Pemenangan Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Pematangsiantar Wesly Silalahi-Herlina. Ini intimidasinya antara pendukung dan sempat berujung keributan, sampai dibubarkan dengan gas air mata.
“Kejadian tersebut bersifat sporadis dan bukan intimidasi terstruktur. Oleh karena itu, intimidasi pemilih pada Pilkada 2024 cenderung tidak lagi masif,” ujarnya.
Penulis: Kusumah









